Senin, 13 Januari 2020

Anak-anak yang Mati Rasa
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Kelak akan tiba masanya, seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam, orangtua berpayah-payah mendidik anak, tetapi anaknya memperlakukan emaknya seperti tuan memperlakukan budaknya. Dan aku takut peristiwa itu akan terjadi di masa ini, masa ketika anak-anak tak mengenal pekerjaan rumah-tangga, dan pesantren maupun sekolah-sekolah berasrama lainnya tak lagi menjadi tempat bagi anak untuk belajar tentang kehidupan. Anak-anak itu belajar, tetapi hanya mengisi otaknya dengan pengetahuan yang dapat diperoleh dari Google. Sementara tangannya bersih tak pernah mencuci maupun melakukan pekerjaan-pekerjaan fisik lainnya, sehingga empati itu mati sebelum berkembang. Tak tergerak hatinya bahkan di saat melihat emaknya kesulitan bernafas seumpama orang hampir mati disebabkan ketuaan atau sakitnya kambuh, tetapi anak tak bergeming membantunya. Apalagi berupaya melakukan yang lebih dari itu.

Aku termangu mengingat nasehat Rasulullah Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengenai tanda-tanda hari kiamat, salah satunya dari hadis panjang yang kali ini kita nukil ringkasnya:
.
سَأُخْبِرُكَ عَنْ أَشْرَاطِهَا: إِذَا وَلَدَتِ الْمَرْأَةُ رَبَّتَهَا
.
“Aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya; jika seorang (sahaya) wanita melahirkan tuannya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
.
.
Ibunya bukanlah seorang budak. Bukan. Ibunya orang merdeka. Tetapi anak-anak itu tak tersentuh hatinya untuk cepat tanggap membantu ibunya. Padahal membantu saat diminta adalah takaran minimal bakti kepada orangtua. Takaran di atas itu, tanpa diminta pun ia sudah tergerak membantu. Dan di atasnya lagi masih bertingkat-tingkat kebaikan maupun kepekaan seorang anak tentang kebaikan apa yang sepatutnya ia perbuat terhadap kedua orangtuanya.

Ada yang perlu kita renungi. Ada airmata yang perlu mengalir, menadahkan tangan mendo’akan anak-anak dan keturunan kita, menangisi dosa-dosa, berusaha memperbaiki diri dan tetap tidak meninggalkan nasehat bagi anak kita karena ini adalah haknya. Nasehat. Ia adalah kewajiban kita untuk memberikannya meskipun mereka tak memintanya. Kitalah yang harus tahu kapan saat tepat memberikan nasehat sebab semakin memerlukan nasehat, justru kerapkali semakin merasa tak memerlukan nasehat.

Hari ini, betapa banyak anak yang di sekolah berasrama tak diajari mengurusi kehidupan pribadinya karena makanan siap saji setiap waktu makan, hanya perlu berbaris untuk mengambilnya. Sedangkan pakaian pun tak perlu ia menyempatkan waktu mengatur jadwal agar bersih saat mau digunakan, sementara tugas sekolah tetap tertunaikan. Tidak terbengkalai. Maka di saat mereka pulang, kita perlu melatih tangan dan juga hatinya agar tanggap. Bukan menyerahkan begitu saja kepada pembantu. Tampaknya ini hanya urusan pekerjaan rumah-tangga yang sepele, tetapi di dalamnya ada kecakapan mengelola diri, mengatur waktu dan lebih penting lagi adalah empati.

Apakah tidak boleh kita menggembirakan mereka dengan sajian istimewa saat mereka pulang dari pesantren? Boleh. Sangat boleh. Tetapi hendaklah kita tidak merampas kesempatan mereka untuk belajar mengenal pekerjaan rumah-tangga, menghidupkan empati dan mengasah kepekaannya membantu orangtua. Liburan adalah saat tepat belajar kehidupan. Bukan saat untuk libur menjadi orang baik sehingga seluruh kebaikan yang telah biasa mereka jalani di sekolah, sirna saat liburan tiba. Mereka seperti raja untuk sementara, sebelum kembali ke penjara suci.

Diam-diam saya teringat, konon di sebuah sekolah bernama Eton College, semacam Muallimin di Inggris tempat anaknya raja maupun anak orang sangat kaya bersekolah, para siswa diharuskan mencuci dan menyeterika bajunya sendiri. Bukan bayar laundry. Ini bukan karena orangtua mereka fakir miskin. Bukan. Tetapi karena dalam urusan sederhana itu ada kebaikan yang sangat besar bagi kehidupan mereka di masa yang akan datang, termasuk dalam hal kepemimpinan. Mereka menjadi lebih peka tentang apa yang seharusnya dilakukan saat menjadi pemimpin perusahaan, termasuk dalam mengelola waktu.

Apa yang dilakukan di Eton College sebenarnya bukan barang baru, tetapi saya merasa perlu menghadirkan kisah ini selintas hanya untuk menggambarkan betapa anak-anak memerlukan latihan untuk mengasah kepekaannya, menghidupkan empatinya dan meringankan langkahnya membantu orangtua. Mereka sangat perlu memiliki semua itu karena dua alasan. Pertama, ketiganya (kepekaan, empati dan kemauan untuk meringankan langkah) sangat mereka perlukan dalam menjalani kehidupan bersama orang lain, baik ketika berumah-tangga maupun berdakwah dan mengurusi ummat. Artinya, minimal semua itu mereka perlukan untuk meraih kehidupan rumah-tangga yang baik, tidak terkecuali dalam mendidik anak. Kedua, ketiganya mereka perlukan untuk dapat berbuat kebajikan bagi kedua orangtua (birrul walidain) dengan sebaik-baiknya. Dan birrul walidain merupakan salah satu kunci kebaikan yang dengan itu anak dapat berharap meraih ridha dan surga-Nya Allah ‘Azza wa Jalla.

Jadi, urusan terpentingnya bukan karena kita kewalahan lalu perlu bantuan mereka. Bukan. Bukan pula karena kita repot sehingga memerlukan kesediaan mereka untuk meringankan tugas-tugas kita. Tetapi hal terpenting dari melibatkan anak membantu pekerjaan di rumah dan tanggap terhadap orangtua justru untuk keselamatan dan kebaikan anak kita di masa-masa yang akan datang. Kejamlah orangtua yang tak melatih anaknya untuk berbakti kepadanya hanya karena merasa orangtua tak perlu menuntut anak membantunya. Ingatlah, kita latih, dorong dan suruh mereka agar cepat tanggap dan ringan membantu bukanlah terutama untuk meringankan beban orangtua, tetapi justru agar anak-anak kita memperoleh kemuliaan dan kebaikan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla dengan birrul walidain. Sekurang-kurangnya tidak menyebabkan mereka terjatuh pada perbuatan mendurhakai orangtua. Dan ini merupakan serendah-rendah ukuran.

Ada yang perlu kita khawatiri jika lalai menyiapkan mereka. Pertama, anak-anak merasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua, termasuk membantu pekerjaan di rumah, bukan sebagai tugasnya. Mereka tak membangkang, tetapi lalai terhadap apa yang sepatutnya mereka kerjakan. Ini merupakan akibat paling ringan. Kedua, anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang durhaka kepada orangtua. Dan karena kedurhakaan itu bersebab kelalaian orangtua dalam mendidik, maka di Yaumil Qiyamah mereka menjatuhkan orangtua di mahkamah Allah ‘Azza wa Jalla sehingga justru orang yang merasakan azab akhirat. Ketiga, sebagaimana disebut dalam hadis di atas, anak-anak berkembang menjadi pribadi yang memperbudak orangtua, bahkan setelah mereka mempunyai anak. Na’udzubiLlahi min dzaalik.

Ada yang perlu kita renungkan tentang bagaimana kita mendidik anak-anak kita. Saatnya kita kembali kepada tuntunan agama ini, bertaqwa kepada-Nya dalam urusan mendidik anak dan berusaha menggali tentang apa saja yang harus kita bekalkan kepada mereka.

Tulisan ini dimuat di Majalah Hidayatullah edisi Desember 2019

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh....
         Selamat pagi sahabat literasi........
Pagi ini cuacanya cukup dingin..... terasa sampai kedalam tulang...ditambah lagi hujan gerimis yang menambah dinginnya semakin terasa.....
ketika jam telah menunjukkan pukul 7 ...saya dan istri telah siap untuk berangkat ke Talang Babungo untuk mengikuti Diklat penulisan buku ajar dan pengayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten Solok yang disponsori oleh Epson dari tgl 27 sd 31 Desember 2019.
          Dengan membaca bismillah kami mulailah perjalanan dengan mengendarai kendaraan roda dua menembus hujan gerimis yang semakin lama turunnya semakin deras..disertai hembusan angin yang kadang bertiup kencang...mantel plastik yang kami gunakan seakan menimbulkan irama yang indah ketika ditiup angin.. semakin membuat semangat kami untuk mengikuti pelatihan semakin bergelora...
            Dengan penuh semangat disertai siulan kecil saya mengendarai kendaraan dengan harapan agar segera sampai di lokasi kegiatan ...
karena pagi itu kami belum sempat sarapan si rumah karena takut terlambat sampai di Talang Babungo...maka kami sempatkan lah mampir di kedai ketupat gulai yang berada di Alahan Panjang...kami isilah Sumatera tengah dengan sepiring ketupat gulai sekedar untuk mengamankan usus yang sudah mulai berbunyi ...Alhamdulillah wa syukurillah begitu nikmat dan enak rasanya ketupat gulai itu...tidak begitu lama kami sudah menyelesaikan sarapan dan langsung siap berangkat kembali,hujan pun sdh berhenti dan cuaca mulai membaik matahari dengan masih malu menampakkan sinarnya dibalik kabut yang masih tebal.
             Singkat cerita akhirnya pukul 9 lewat 15 menit kami sampailah di Talang Babungo dengan selamat dan dengan sedikit terburu buru saya langsung masuk keruangan tempat pelatihan takut acaranya sudah dimulai...tapi..Alhamdulillah ternyata acara belum dilaksanakan karena menunggu bpk Kepala Dinas Pendidikan yang akan membuka acara...
              Sekitar pukul 9.30 wib....Bapak kepala Dinas yang ditunggu sudah berada di lokasi kegiatan dan disambut dengan tari persembahan yang ditampilkan oleh murid dari SDN 09 Talang Babungo dimana tempat lokasi pelatihan itu dilaksanakan....dengan diiringi musik, begitu piawainya anak anak tersebut menampilkan kebolehannya membuat para penonton yang datang terkesima melihatnya...
               Akhirnya pada pukul 10 dimulai lh kegiatan pelatihan yg dibuka langsung oleh bapak Bupati dengan diwakili oleh bapak Kepala Dinas Pendidikan.....dan materi pelatihan l disampaikan oleh Bapak dan Ibuk Nara Sumber yang sudah ternama ditingkat nasional yang didatangkan langsung dari Jakarta dan Yogyakarta.
               Setelah saya ikuti pelatihan ini selama dua hari dengan penuh perhatian ....akhirnya dari uraian demi uraian yang disampaikan oleh Bapak dan Ibuk Nara sumber dari situ dapatlah saya mengambil suatu iktibar dan mutiara bahwa hasrat dan keinginan untuk menulis itu tidak akan timbul dengan sendirinya kalau tidak mau membaca dan membaca....dan menuangkan ide itu juga butuh konsentrasi dan imajinasi yang kuat dan ketenangan pikiran...
               Alhamdulillah berkat bimbingan dan arahan yang diberikan oleh bapak dan Ibuk Nara sumber,saya terinspirasi untuk menuangkan tulisan ini ...walaupun ini baru hanya sekedarnya saja...terima ksh yang terhingga saya ucapkan kepada Bapak dan Ibuk Nara sumber yang telah memberi kami sebutir Mutiara Indah di Talang Babungo.
                Semoga jerih payah dan ilmu yang telah Bapak dan Ibuk berikan kepada kami menjadi amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat diakhirat kelak...yang akan menjadi investasi bagi bapak dan Ibuk yang pahalanya tidak akan putus putusnya......

Talang Babungo 29-12-2019
penulis...
Nilwan,S.Pd
SDN 04 Kampung Batu Dalam

Anak-anak yang Mati Rasa Oleh: Mohammad Fauzil Adhim Kelak akan tiba masanya, seperti yang dikabarkan oleh Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi...